Fakta Sejarah, Hak Petuanan Negeri Kariu Sejak Jaman Portugis. “ Masyarakat Kariu Tetap Kembali Ke Tanah Asal ”
Kabaresijurnalis.com, Ambon– Fakta sejarah membuktikan, hak kepemilikan petuanan masyarakat hukum adat Negeri Kariu sudah ada sejak jaman Portugis dan Belanda, sampai hari ini dan terbukti dengan adanya sisa-sisa Gedung Gereja Lama Negeri Kariu yang saat ini masi berdiri di dalam pemukiman masyarakat Negeri Palauw.
“Beberapa fakta hukum hak kepemilikan tanah masyarakat hukum adat Negeri Kariu, sesuai Putusan Pengadilan Negeri Ambon No 85/1968- Prdt, tertanggal 17 Agustus 1970. Sesuai putusan Pengadilan Tinggi Maluku No 60/1970/PT/,Prdt, tanggal 21 Maret 1973, sesuai keputusan Mahkamah Agung RI No 674/K/Sip/1974 tertanggal 12 Januari 1997. Diketahui bahwa, warga Kariu Johannis Takaria telah memenangkan gugatan terhadap hak kepemilikan tanah yang ada di dalam pemukiman Pelauw, yang semulanya dikuasai oleh masyarakat Sukaha Latupono dan Sup Alim Talaohu, warga Pelauw.” Jelas Sekretaris Negeri Kariu A Leatomu, bersama Ketua Tim penanganan konflik Kariu P Radjawane kepada Wartawan dalam jumpa pers, Sabtu, (12/3/22), di Ambon
Selaian itu kata Leatomu, pada tahun 2010 Rajak Sahubawa, warga Pelauw membeli sebidang tanah milik ahli waris Dominggus Radjawane, dan Frangki J.M Radjawane, warga Kariu yang mana tanah yang di jual belikan tersebut berada di dalam pemukiman masyarakat Negeri Pelauw sekarang. Bukti dari jual beli tanah tersebut ada hingga saat ini, dan untuk memperkuat fakta maka bukti akta penjualan tanah kami tampilkan.
“Kami tegaskan bahwa petuaanan Ory yang sekarang menjadi pemukiman masyarakat dusun Ory adalah tanah milik masyarakat hukum adat Negeri Kariu, yang disebut dengan dati Ory. Berdasarkan register dari tahun 1823 yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat Negeri Kariu, kami tegaskan bahwa petuanan Uwa Rual adalah milik masyarakat Kariu yang sudah ada sejak lama,” ujarnya.
Menurutnya, sejak dulu dalam catatan sejarah membuktikan bahwa, sudah lama kelompok masyarakat Pelauw telah melakukan perampasan dan penguasaan terhadap petuanan-petuanan masyarakat hukum adat Negeri Kariu, dengan cara kekerasan dan bahkan perang.
“Seperti peristiwa tahun 1933, terjadi perampasan dengan kekerasan atas tanah Negeri Lama Kariu yang sekarang merupakan pemukiman masyarakat Pelauw. Pada tahun 1935 terjadi perampasan Negeri Teput (Negeri lama Tupalessy), pada tahun 1949 terjadi perampasan amanahaur, pada tahun 1953 terjadi perampasan Nimelrua ( kelapa dua yang disebut Hunimoki), pada tahun 1963 terjadi perampasan Lawata, Waihala, Amanhuwe, Amalatu,” terang Leatomu.
“Dan pada tahun 1957, masyarakat Negeri Kariu atas nama Silas Pariury, dibunuh kerena yang bersangkutan adalah sosok yang selalu melarang dan menghadang serta melawan pergerakan masyarakat Pelauw yang ingin merebut dan menguasai petuanan masyarakat Kariu di dati Hunimoki milik masyarakat hukum adat Negeri Kariu. Pada tahun 1966 masyarakat Pelauw melakukan perampasan terhadap tanah milik masyarakat hukum adat Negeri Kariu di dati Lawata, Amahue, Kohomuan dan Hatuwei,” ungkapnya.
Dikatakannya, catatan-catatan sejarah ini membuktikan bahwa petuanan masyarakat hukum adat Negeri Kariu yang saat ini berada dalam pemukiman Pelauw, sementara pada tahun 1976-1979 Sebagian tanah milik orang Kariu di Negeri Lama yang berada didalam pemukiman Pelauw telah dijual oleh orang Kariu untuk membangun Kantor Polsek Pulau Haruku, Kantor Camat Pulau Haruku, Rumah Dinas Camat Pulau Haruku dan Kantor PLN, sementara lahan yang lainya di hibahkan untuk membangun SMP Negeri Pelauw, dengan sebutan SMP Negeri Pelauw-Kariu.
“Berdasarkan bukti hukum serta fakta sejarah dan bukti hukum kepemilikan tanah oleh masyarakat hukum adat Negeri Kariu, maka kami tegaskan bahwa Negeri Kariu beserta petuanannya adalah sah milik Negeri Kariu sesuai hukum adat maupun UUD yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan milik sekelompok masyarakat lainnya, kami tidak akan ditentukan oleh kelompok masyarakat manapun dan dengan syarat apapun dalam agenda pemulangan masyarakat hukum adat Negeri Kariu ke Negeri asalnya,” ujarnya.
Untuk itu kami meminta Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah bersama Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah pusat, serta institusi TNI-POLRI untuk segera menetapkan agenda pemulangan masyarakat hukum adat Negeri Kariu ke Negeri asalnya.
“Sebab ini merupakan bentuk Eksistensi petuanan masyarakat hukum adat Negeri Kariu akibat pengiringan opini oleh sekelompok orang bahwa masyarakat hukum adat negeri Kariu tidak memiliki hak kepemilikan atas petuanan dan Negerinya. Merupakan pemutarbalikan fakta dan pembohongan publik yang melanggar Hak Asasi Manusia, maka kami tegaskan bahwa petuanan dan Negeri Kariu benar benar sah milik Negeri Kariu, sesuai pendaftaran tanah dati pada tahun 1823 yang kemudian disalin dalam register dari tahun 1956,” tutup Leatomu. (KJ 07)