Geliat Kain Tenun Tanimbar
Oleh : Mochtar Touwe
Etha, mengalungkan gedokan ke badan. Kakinya diselonjorkan ke depan sambil mencari posisi yang nyaman. Tangannya mulai membetulkan alat tenun yang digendongnya. Benang yang digulung pada seutas bambu yang diraut, dimasukkan di sela-sela benang, kemudian jemarinya menekan ke belakang tiga kali secara beruntun.
Aksinya belum cukup sampai di situ. Ada sebatang kayu berbentuk pipih yang terselip di sela-sela benang dalam gedokan. Tek. Tek. Tek. Perempuan paruh baya itu, mulai menenun kain Tanimbar.
Seharian, janda tiga anak itu berselonjor kaki sambil menenun. Ia baru akan beranjak dari tempat, ketika memasuki waktu makan siang dan ke pergi ke toilet. Setelah itu, ia mengalungkan lagi gedokan, hingga dalam tempo tiga pekan, barulah selembar kain tenun Tanimbar berukuran 100 cm x 70 cm, selesai dikerjakan.
Etha Luwamase, begitu nama lengkapnya. Satu dari puluhan penenun yang masih bertahan, mengadu untung di Pulau Yamdena dan sekitarnya, di wilayah Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku. Dengan peralatan sederhana terbuat dari beberapa potongan kayu, saban hari mereka berselonjor kaki menyelesaikan tenunan.
Tak hanya Etha. Ada Tina Bakbua, Sences Rafia Liur, dan Everarda Belai. Mereka tersebar di kabupaten tersebut. Mereka saban hari menenun kain Tanimbar sebagai salah satu mata pencarian tambahan. “Sejak kecil, anak-anak saya ajarkan untuk bertenun,” ujar Etha Luwamase, seperti disiarkan Net TV.
Sementara Sences Rafia Liur, mengaku bahwa ketrampilan menenun kain diperoleh berkat guru keterampilan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Saumlaki. Setelah tamat dari SMA, ia mengambil peralatan gedokan milik sang ibu. Hasilnya lumayan, ia bisa memperoleh uang hingga Rp 1 juta dari hasil menenun setiap bulan.
Tapi kebiasaan menenun sejak kecil, perlahan mulai ditinggalkan. Alasannya, Tenun Tanimbar – yang dihasilkan para pengrajin tenun Wanita yang usianya tidak muda lagi – jumlahnya semakin sedikit.
Pasarannya pun terbatas, sehingga Tenun Tanimbar, kurang dikenal luas dibandingkan dengan tenun ikat dari daerah lain. Jumlah para penenun pun berkisar puluhan orang. Terlebih ketika wilayah ini masih berstatus kecamatan. Hanya segelintir orang yang bertahan menenun.
Selain untuk kebutuhan perayaan adat di daerah ini, para penenun juga mengadu untung di tengah lesunya pasaran kain Tenun Tanimbar. Jangan tanya soal keuntungan. Modal pembeli benang kembali saja, sudah bersyukur. Pendeknya, semua risiko sudah dihitung. Hal Itu tidak membuat surut niat para penenun. Mereka meneruskan warisan leluhur.
Selain itu, daerah penghasil kain Tenun Tanimbar berbeda-beda. Untuk menyelesaikan kain tenun Tanimbar, dibutuhkan waktu cukup lama. Penjualannya pun, membutuhkan waktu lama. Bak mati suri, para penenun tak bergairah mempertahankan warisan leluhur. “Kendalanya pada penjualan,” ujar Tina Bakbual.
Baik Etha, Tina Bakbual, dan para pengrajin Tenun Tanimbar di Pulau Yamdena dan pulau lainnya di wilayah Kabupaten Kepulauan Tanimbar, menghabiskan 10 ikat benang, untuk menyelesaikan satu lembar kain Tenun Tanimbar, dalam tempo sepekan sampai tiga pekan. Harganya pun beragam. Mulai dari Rp 600 ribu hingga Rp 2,5 juta, perlembar. “Mahal tidaknya, tergantung model dan tingkatkesulitan,” kata Etha Luwamase, seperti dikutip dari LKBN Antara.
Mengandalkan alat tenun tradisional, gedokan di zaman serba cepat ini, tak membuahkan rejeki berlimpah. Sepertinya, garis nasib hanya berkutat seputar itu.
Pada 2013, perusahaan minyak Inpex Masela Limited, datang ke Saumlaki, ibukota Kabupaten Kepulauan Tanimbar, untuk menggarap minyak bumi dan gas di wilayah tersebut. Perusahaan itu memberikan uluran bantuan kepada para penenun. Perusahaan asal Jepang itu bakal mengelola tambang minyak di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Perusahaan itu menjadikan pengrajin kain Tenun Tanimbar, sebagai binaan.
Tenun Tanimbar pun menggeliat lagi. Menjadi induk semang bagi para pengrajin Tenun Tanimbar, merupakan program Inpex Masela. Tujuannya, untuk meningkatkan kreasi dan produksi produk tenunan. Tujuannya, memudahkan para penenun guna meningkatkan penghasilan dan membantu menghasilkan Tenun Tanimbar yang berkualitas.
Sedikitnya, 100 orang terdiri dari 60 orang di Saumlaki, dan 40 orang di Desa Amdasi, diikuti para pengrajin dan komunitas generasi muda, mengikuti pelatihan pengembangan produk Tenun Tanimbar, untuk meningkatkan “branding” dan “marketing” produk turunan Tenun Tanimbar.
Setelah promosi kain Tenun Tanimbar gencar dilakukan berbagai pihak, permintaan mulai deras. Pesanan berbagai macam motif dan corak, kian berdatangan. Para penenun pun semakin bergairah menyelesaikan tenunan. “Motifnya indah. Rapih dan halus pula,” kata Andi Tiara, Perancang Busana asal Makassar, Sulawesi Selatan, seperti ditayangkan Kompas TV Makassar.
Selain pembinaan, perusahaan minyak itu memberikan bantuan Alat Tenun BukanMesin (ATBM). Berbekal alat tersebut, lama produksi pun lebih singkat. Hanya dibutuhkan waktu tiga hari, kain Tenun Tanimbar berukuran 100 cm x 70 cm dapat diselesaikan. “ATBM sangat membantu perekonomian rumah tangga saya, terutama untuk anak-anak saya yang masih sekolah dan kulaih,” tutur Sences Rafia Liur, salah seorang pengrajin Tenun Tanimbar di Saumlaki.
Menggeliatnya kain Tenun Tanimbar membawa harapan terakhir, bagi mereka dengan satu keyakinan: melanjutkan warisan nenek moyang. Nasib berputar bagai roda.
Tanimbar Impian seperti itulah, yang diyakini Etha dan rekan-rekannya, untuk tetap bertenun menggunakan alat tradisional. Para penenun juga bisa meraup untung paling sedikit Rp 3 juta setiap bulan. Walhasil, Etha dan yang lainnya, dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga masuk perguruan tinggi di Kota Ambon.
Ketika wabah Covid-19 melanda dunia, dampaknya dirasakan pula kelompok Tenun Tanimbar Larsasam, di Saumlaki. Lima unit ATBM bantuan Inpex Marsela, selama masa pandemi Covid-19, tak pernah digunakan.
Akibatnya, kelompok tenun ini seakan mati suri. Dari 12 anggota penenun kain Tenun Tanimbar yang tergabung dalam kelompok Larsasam, hanya empat orang yang masih bertahan menenun, termasuk Sences Liur Larsasam. Tapi mereka kini menggunakan alat gedokan.
Selain peralatan yang lama tak digunakan, lokasinya pun dekat dari pantai, sehingga alat tenun berbahan besi itu, mudah berkarat. Lain halnya dengan alat tenun gedokan, yang seluruhnya terbuat dari kayu yang tidak mudah berkarat. “Penggunaan gedokan tidak seribet menggunakan ATBM,” tutur Sences Rafia Liur, melalui telepon selular, Minggu siang, pekan kedua November 2023.
Koordinator Program Investasi Sosial Inpex Masela Ltd., Fedelis Samponu mengakui, untuk kelompok Tenun Tanimbar, selain memberikan bantu ATBM kepada kelompok penenun, anggota kelompoknya pun dilatih.
Ia memfasilitasi penyediaan Galeri Larsasam di Saumlaki, sebagai tempat memproduksi, dan memajang hasil produksi Tenun Tanimbar dari kelompok Larsasam. “Larsasam berarti satu hati, berasal dari Bahasa Selaru,” katanya.
Rupa-rupanya, bantuan tersebut tak serta merta menjadi hak anggota binaan. Bantuan akan dievaluasi secara berkala sehubungan dengan peningkatan produktivitas dan kinerja. “Apabila dianggap tidak ada perubahan, maka Inpex Masela, berhak mencabut semua bantuan yang diberikan, untuk diserahkan kepada kelompok lain di Tanimbar yang membutuhkan,” ujar Fidelis Samponu.
Tidak semua produk binaan, hasilnya dipasarkan di dalam negeri dan menembus pasar internasional melaui Inpex Masela. “Saat ini penenun binaan mampu memproduksi Kain Tenun Tanimbar dengan menggunakan teknik pewarna alam yang diperoleh di sekitar tempat tinggal para penenun,” tutur Senior Manager Inpex Masela Puri Minari, seperti dilansir LKBN Antara, pada Februari 2020.
Lain lagi dengan Citic Seram Energy Limited (CSEL) yang melakukan kegiatan eksplorasi minyak di Pulau Seram, Maluku, dengan lokasi Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), dan Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Provinsi Maluku. CSEL, mereka lebih memprioritaskan Program Pengembangan Masyarakat (PPM) di bidang lingkungan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. “Bantuan asrama untuk pelajar dan mahasiswa asal SBT di Ambon, sudah dilaksanakan beberapa tahun lalu,” kata Rohman Yudiawan, HSSE, PR Asisten Manager Citic Seram (Energy) Ltd, saat memberikan materi pada Pelatihan Jurnalistik LPDS bekerja sama dengan SKK Migas, di Hotel Swissbel Ambon, Rabu, 8 November 2023.
Di bidang lingkungan, CSEL melakukan program bersama penanaman Mangrove, bantuan buku-buku bacaan untuk Perpustakaan Desa, di Desa Waru, Kabupaten SBT, dan dukungan Sekolah Sepak Bola Bula. Sedangkan bidang kesehatan dan, CSEL dilaksanakan program pemberian bahan makanan sehat kepada warga Desa Solan.
Untuk bidang infrastruktur, CSEL memberikan dukungan material, untuk perbaikan rumah ibadah di desa sekitar wilayah operasi sampai dengan Desa Waru, dan Tutuk Tolu, serta dukungan kegiatan pembuatan drainase air buangan di Desa Bula, penggunaan alat berat, untuk pembuatan akses jalan (tansi Ambon – SBT), dan konstruksi bangunan tempat ibadah.
Program pemberdayaan masyarakat yang terdampak pada kegiatan pertambangan di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, dan di Kabupaten Seram Bagian Timur, merupakan bentuk program investasi sosial sebagai bentuk komitmen moral dari Inpex Masela.
Hal serupa juga ditunjukkan oleh Citic Seram Energy Limited, di Kabupaten Seram Bagian Timur, yang mendapat persetujuan dari SKK Migas.
Walaupun belum beroperasi, Inpex Masela sudah berkomitmen melakukan sejumlah program pemberdayaan masyarakat, dalam mendapatkan lisensi sosial sejak dini melalui kepercayaan, dan dukungan masyarakat di sekitar. Sedangkan Citic Seram Energy Limited, sudah melakukan pengeboran minyak bumi di Kabupaten Seram Bagian Timur, sejak tahun 1895.
Hanya saja, para pengrajin kain Tenun Tanimbar di Pulau Yamdena dan sekitarnya, rupa-rupanya belum siap beralih teknologi, sebagaimana ditulis LKBN Antara. Beberapa dari para pengrajin itu kini mundur dari kelompok penerima ATBM. “Agak ribet sih menggunakan ATBM, jadi para penenun kembali ke alat tenun gedokan,” tutur Sences Rafia Liur. (…)
Mochtar Touwe, Redaktur Eksekutif kabaresijurnalis.com