Mahal Minyak Goreng dan Macan Ompong Raja Sawit Dunia
KabaresiJurnalis – Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, harga minyak goreng terus saja membubung tinggi. Seperti layang-layang yang putus dari talinya, bergerak liar dan sulit dikendalikan.
Ibu rumah tangga, pedagang kecil penjual makanan, terutama pedagang gorengan, gusar. Konsumen dan pedagang kecil yang tidak berdaya pun hanya bisa ngedumel. Mereka berteriak meminta pemerintah turun tangan. Maklum saja, kenaikan harga minyak goreng sudah jauh dari toleransi daya beli.
Merujuk data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), 8 Desember 2021, harga minyak goreng curah mencapai Rp18.000/kg atau naik 32,3% dari awal tahun.
Pada periode yang sama, harga minyak goreng kemasan bermerk I menjadi Rp19.950/kg (naik 31,6%) dan minyak goreng kemasan jadi Rp18.900/kg (naik 33,4%).
Kenaikan ini sudah berlangsung sejak tahun lalu. Jika dikalkulasi dari Januari 2020 hingga 5 Desember 2021, kenaikan 3 jenis minyak goreng bergerak dari 37,1% hingga 42,4%.
Harga-harga ini jauh melampaui harga acuan di Permendag Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen: Rp11.000/liter minyak goreng kemasan sederhana di konsumen.
Sebagai konsumen, warga sebenarnya bisa saja mengirit konsumsi atau menggunakan minyak goreng berulang. Sementara para pedagang bisa menaikkan harga jual atau menggunakan minyak goreng berulang-ulang. Namun cara-cara ini bukan solusi yang elok dan tak baik bagi kesehatan. Menaikan harga terkendala daya beli konsumen.
Secara ekonomi, turbulensi harga minyak goreng di pasar domestik amat mudah dijelaskan, yaitu dengan mendedah fakta bahwa kenaikan harga selaras dengan melonjaknya harga minyak mentah sawit (crude palm oil/CPO), bahan baku utama minyak goreng.
Fakta yang sangat kecil peluangnya untuk disangkal.
Selama ini, pabrik-pabrik minyak goreng berbasis sawit itu membeli CPO di pasar lelang di Dumai yang terkoneksi dengan harga di pasar dunia, yakni di Rotterdam, Belanda. Apa yang terjadi di pasar dunia itu langsung ditransmisikan ke pasar domestik. Ini konsekuensi logis dari pasar di bursa berjangka yang terbuka.
Sialnya, hari-hari ini harga CPO ada di level tinggi, setelah mengalami kenaikan beruntun sepanjang tahun 2021. Rentang November 2020 hingga November 2021, harga CPO di pasar global naik 52.23%. Bahkan, harga lelang CPO November 2021 sempat menyentuh di atas US$1.400/ton.
Kenaikan harga dipicu oleh penurunan produksi sawit produsen nomor dua di dunia, Malaysia, karena kelangkaan tenaga kerja migran. Pada saat yang sama, krisis energi di India, China, dan sejumlah negara di Eropa membuat mereka beralih ke biodiesel, terutama untuk memastikan pasokan energi sepanjang musim dingin.
Di Indonesia, sejak awal 2021 pemerintah menggenjot produksi biodiesel dari sawit lewat program B30. Secara akumulatif, tarikan permintaan dari pasar domestik dan luar negeri itu telah mendongkrak Indeks Harga Pangan FAO (FAO Food Price Index) ke level yang amat tinggi sepanjang Oktober-November 2021.
Pada Oktober 2021, indeks menyentuh 132,8, naik jadi 134,4 pada bulan berikutnya. Sepanjang dua bulan itu, indeks harga pangan melampaui indeks serupa saat krisis pangan akut pada 2011: 131,9. Salah satu kontributor kenaikan indeks adalah meroketnya harga minyak nabati (CPO).
Dimensi Ekonomi-Politik Harga Minyak Goreng
Jika gejolak harga minyak goreng dengan mudah dipahami secara ekonomi, tidak demikian halnya dengan dimensi politik. Dalam bingkai ekonomi-politik, pemerintah mesti menyadari bahwa tidak ada kebijakan (ekonomi dan politik) yang bisa memuaskan semua pihak secara optimal.
Setiap kelompok kepentingan akan berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dengan upaya yang sekecil-kecilnya. Karena itu, setiap kebijakan (ekonomi dan politik) selalu ada pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan.
Konflik kepentingan klasik dalam ekonomi-politik adalah antara kebijakan yang menekankan efisiensi atau yang berorientasi pemerataan? Pertanyaannya: kepentingan siapa yang dimenangkan dan siapa yang dikalahkan?
Indonesia adalah produsen sawit nomor wahid di dunia. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, pada 2020 produksi CPO mencapai 46 juta ton, 43% di antaranya untuk konsumsi dalam negeri, sisanya diekspor.
Dari angka ini, 8,6 juta ton untuk pangan dalam negeri dan 18,4 juta ton untuk pangan ekspor. Sementara untuk energi (biodiesel), 10,5 juta ton buat dalam negeri dan 0,5 juta ton ekspor. Sisanya untuk industri lain, seperti oleochemical.
Tetapi buat apa predikat produsen nomor satu dunia jika rakyat dan pedagang kecil sempoyongan tatkala membeli minyak goreng?
Salah satu jantung masalahnya adalah karena Indonesia tak berdaulat atas produk yang dihasilkan. Tragedi itu tergambar dalam ungkapan “Kita punya barang, mereka punya harga.”
Nilai tukar (terms of trade) dalam transaksi perdagangan mencerminkan posisi tawar suatu produk. Kita eksportir CPO terbesar di dunia, tapi harga CPO justru didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka.
Sejatinya, sebagai produsen utama, kita paling dekat dengan kondisi-kondisi fundamental yang mempengaruhi harga. Namun, upaya mengoreksi ironi puluhan tahun ini tak tampak.
Di pasar domestik, idem ditto: pemerintah tak berdaya mengendalikan harga. Ini konsekuensi menyerahkan harga minyak goreng ke mekanisme pasar. Harga acuan yang ada tak lebih macan ompong. Akhirnya, penguasa pasar leluasa mengeksploitasi keadaan.
Saat ini ada 74 pabrik minyak goreng berbasis sawit. Dari jumlah itu, 45 pabrik (60,8%) ada di Jawa. Masalahnya, Jawa bukan penghasil sawit. Dari 25 provinsi penghasil sawit, Riau menduduki posisi pertama (19,9%), disusul Kalteng (16,89%), Sumut (13,44%), Sumsel (8,89%), Kaltim (8,82%), dan Kalbar (7,23%).
Ini yang membuat margin perdagangan dan pengangkutan tinggi: 17,41% (2021), naik dari 2018 sebesar 17,14%.
Uraian ini menunjuk pada satu hal penting: industri minyak goreng berbasis sawit mengidap masalah struktural. Karena masalahnya bersifat struktural, cara-cara klasik seperti operasi pasar dengan mengguyur 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana seharga Rp14.000/liter ke pasar modern tak akan menjadi solusi.
Karena cara itu tak menyentuh akar masalah.
Sudah seharusnya cara-cara ad hoc ini diakhiri. Kemudian pemerintah fokus mengintegrasikan hulu hingga hilir industri ini, termasuk membenahi distribusi. Pemerintah juga harus menyusun instrumen stabilisasi (pasokan dan harga) yang setiap saat bisa digunakan untuk mengintervensi kala mekanisme pasar tak berjalan.
Source : cnnindonesia.com